Sabtu, 23 April 2011

Islamisasi Ilmu Pengetahuan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi, ditinjau dari katanya berasal dari akar kata Islam. Secara etimologi berarti tunduk/pasrah dan patuh. Sedang terminologi adalah agama yang menganjurkan sikap pasrah kepada Tuhan yang dalam bentuk yang diajarkan melalui Rasulullah SAW. yang berpedoman pada kitab suci al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Islamisasi sendiri bermakna pengislaman.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebuah gagasan yang timbul sejak dasawarsa 1970-an. Kata “islami” mengandung dua makna yang kurang lebih berbeda. Pertama, kata Islami menunjukkan suatu periode sejarah, kedua, menunjukkan suatu aktivitas yang mengandung Nilai-nilai Islam. Sedangkan arti dari ilmu pengetahuan, menurut Sayid Husein Nasr seorang tokoh pertama dalam pembicaraan wacana baru tentang ilmu pengetahuan dan Islam di Teheran, Iran, tahun 1933, ia menyebut, (berbeda dengan yang biasa diutarakan oleh kebanyakan ilmuwan) ilmu pengetahuan dengan Scientia Sacra (Sacred science, “ilmu sakral”) untuk menunjukkan bahwa aspek kearifan ternyata jauh lebih penting dari pada aspek teknologi yang sampai saat ini masih menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern .
Pengislaman Ilmu atau Islamisasi ilmu, Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat 1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai sebagaimana yang dikembangkan ilmuan Barat akan tetapi sarat nilai, dalam Islam Ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara Ilmu-ilmu dalam Islam.
Oleh kerana itu, sejarah dalam dunia ilmu Islam dahulu telah melahirkan ulama yang terkemuka yang dapat menguasai ilmu-ilmu “dunia” dan “akhirat”. Mereka berusaha menyeimbangkan ide-ide besar dalam tamadun yang lain dengan ajaran agama Islam. Ini dapat dilihat sebagai contoh seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan lain-lain. Mereka berusaha mengetengahkan beberapa ide dasar dan mempertemukan ilmu “luar“ dengan ajaran Islam. Perbedaannya, mereka tidak mengunakan istilah “pengislaman Ilmu” kala itu kerana pada saat itu umat Islam begitu cemerlang dalam ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya usaha pengislaman ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat pada saat turunnya Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Al-Quran telah membawa bahasa Arab ke arah penggunaan yang lebih menenangkan dan damai sehingga merubah watak, perangai dan tingkah laku orang Arab ketika itu. Al-Quran juga merubah pandangan hidup mereka tentang alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh karena itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru. Cuma dalam konteks “kerangka operasional” pengislaman Ilmu-ilmu masa sekarang dicetuskan semula oleh tokoh-tokoh ilmuwan Islam seperti Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Al-Faruqi, Fazlur Rahman, Syed Hussein Nasr dan lain-lain.
Islamisasi ilmu ini menjadi perdebatan utama di kalangan para intelektual Islam semenjak tahun 1970-an. Walaupun ada sarjana muslim membicarakannya tetapi tidak secara teperinci dan mendalam mengenai konsep dan kerangka pengislaman ilmu. Umpamanya seperti, Syed Hussein Nasr, Fazlur Rahman, Jaafar Syeikh Idris.
Maka dapat dikatakan bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai fenomena modernitas, menarik untuk dicermati. Pada era dimana peradaban modern-sekuler mencengkeram negeri-negeri Muslim dengan kukuhnya, pemunculan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dibaca sebagai sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”. Ia hadir untuk menunjukkan identitas sebuah peradaban yang sekian lama diabaikan. Tapi, sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”, adakalanya memunculkan problema dan kontradiksinya sendiri. Itulah yang ingin coba ditelusuri dalam tulisan ini .

B. Pemikiran Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Konstruk intelektual yang dinisbatkan pada peradaban tertentu, biasanya memiliki spektrum yang cukup luas. Ia tidak bisa dibaca sebagai sesuatu yang tunggal dan serba seragam. Demikian halnya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an. Pada tahap perekembangan mutakhirnya, model islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya. Terlebih pula jika melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari pendekatan dan konsepsi dasar tersebut.
Namun ada beberapa konsep-konsep dasar yang menjadi titik persamaan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai sarjana Muslim. Misalnya jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan islamisasi ilmu pengetahuan Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Bagi Al-Atas misalnya, islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya menurut Al-Attas sukses tidaknya pengembangan islamisasi ilmu tergantung pada posisi manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi) .
Sementara menurut Ismail al Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disipilin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya.
Dalam deskripsi yang lebih jelas, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini maka setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.
Di samping beberapa kesamaan pola dasar islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana dapat dilihat dari paparan di atas, agaknya ada segaris perbedaan di antara Alatas dan al-Faruqi. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern – yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara Alatas – disamping pengaruh sufisme yang cukup kuat, antara lain dengan gagasan digunakannya takwil dalam kerangka islamisasi ilmu pengetahuannya– lebih menekankan pada dikedepankannya keaslian (originality) yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan Al-atas, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan barat modern, diyakini dengan merujuk pada khazanahnya sendiri umat Islam akan mampu menciptakan kebangkitan peradaban.
Agaknya, perbedaan semacam ini, disamping faktor-faktor personal, yang membuat keduanya memilih mengembangkan gagasannya di lembaga yang berbeda. Jika Al-Attas kemudian berkutat di International Institute of Islamic Thoughts and Civilization (ISTAC) yang berbasis di Malaysia. Al-Attas memformulasi dua tujuan pertama dari ISTAC:
1. Untuk mengonseptualisasi, menjelaskan dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan dan epistimologi yang dihadapi muslim pada zaman sekarang ini.
2. Untuk memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kultural dari dunia modern dan berbagai kelompok aliran-aliran pemikiran, agama, dan ideologi.
Al-Faruqi menyebarkan gagasannya lewat International Institute of Islamic Thoughts (IIIT) yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat. IIIT mendefinisikan dirinya sebagai sebuah “yayasan intelektual dan kultural”. Menyediakan wawasan Islam yang koprehensif melalui penjelasan prisnsi-prinsip Islam dan menghubungkannya dengan isu-isu yang relevan dari pemikiran kontemporer. Meraih kembali identitas intelektual, kultural dan peradaban umat, lewat Islamisasi humanitas dan ilmu-ilmu sosial.

 Srategi dan kerangka kerja dasar islamisasi ilmu pengetahuan
Terdapat beberapa model skematis dalam upaya islamisasi ilmu pengetahuan, Al Faruqi misalnya menggagaskan sebuah rencana kerja dengan dua belas langkah :
1. Penguasaan disiplin ilmu modern, penguasaan katagoris. Disiplin ilmu modern harus dipecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema yang kemudian hasilnya berupa kalimat istilah teknis.
2. Survei disiplin ilmu, setiap disiplin ilmu modern harus disurvei dan tulis esai-esainya, agar para sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu.
3. Penguasaan terhadap khazanah Islam, khazanah intelektual islam harus dikuasai dengan seksama. Ini perlu sebagai titik awal upaya islamisasi ilmu modern, karena proses islamisasi akan miskin tanpa memperhatikan khazanah warisan intelektual islam tersebut.
4. Penguasaan khazanah ilmiah islam dalam tahap analisis. Untuk dapat memahami kristalisasi wawasan islam, maka karya –karya khazanah islam harus dianalisis dengan latar belakang historis yang jelas.
5. Penentuan relefansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu. Relevansi ini menurut al-Faruqi ditetapkan dengan tiga persoalan yang harus dijawab, yaitu pertama; apa yang telah disumbangkan islam mulai dari dari al-Qur'an hingga kaum modernis saat ini kepada seluruh persoalan yang dikaji dalam disiplin-disiplin ilmu modern?, kedua; seberapa besar sumbangan Islam jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu Barat?, ketiga; jika ada bidang-bidang masalah di luar jangkauan khazanah Islam, kearah manakah umat Islam harus mengisi kekurangan yang dicapai oleh ilmu-ilmu modern Barat itu?.
6. Penilaian kritis terhadap keilmuan modern. Jika relevansi Islam dengan ilmu-ilmu modern ditentukan, maka ia harus dinilai dan dianalisis dari sudut pandang Islam. Penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sasaran kritik disini adalah interpretasi intelektual muslim mengenai nash al-Qur'an dan as-Sunnah dan semua karya-karyanya harus dianalisis relevansinya dengan masa kini.
7. Survai permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam. Permasalahan yang disurvaei mencakup seluruh aspek, yaitu aspek sosial, politik, ekonomi, budaya intelektual, moral spiritual.
8. Survei permasalahan yang dihadapi manusia. Studi yang lebih fokuskan kepada seluruh umat manusia secara umum.
9. Analisis kreatif dan sintesis.disini para sarjana muslim harus sudah siap untuk memadukan khazanah islam dengan disiplin ilmu modern dan mendobrak kemandegan berabad-abad. Khazanah pemikiran Islam harus sinambung dengan hasil ilmu modern dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan kehorison yang lebih luas dari apa yang telah dicapai disiplin ilmu modern.
10. Menyusun kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam. Kesinambungan antara khazanah islam dengan disiplin ilmu modern telah tercapai, buku-buku teks perguruan tinggi harus ditulis untuk menyusun disiplin ilmu modern dalam cetakan Islam.
11. Menyebarkan ilmu-ilmu Islam yang telah diislamisasikan. Karya-karya intelektual yang dihasilkan dari proses di atas, kemudian disebarkan ke seluruh masyarakat untukk memperkaya umat Islam di dunia.
12. Rencana sistematis dan langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan al-faruqi diatas adalah merupakan usaha pembebasan ilmu pengetahuan dari asumsi Barat, kemudian digantikannya dengan pandangan Islam, dengan menuangkan kembali disiplin ilmu Barat kedalam kerangka islam.
Jika dipahami, gagasan awal islamisasi ilmu pengetahuan rupanya lebih melihat pemikiran dan pandangan non muslim terutama ilmuwan barat sebagai ancaman yang sangat dominan, dan umat Islam harus berlindung menyelamatkan identitas dan otentitas ajaran agamanya. Karena itu, ia kecenderung menggali teks dalam rangka mengendalian perubahan sosial dan perlu merumuskan ukuran-ukuran normatif di bidang sains agar ditemukan corak yang lebih "khas Islami".
Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap sains produk barat yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan islam agar diperoleh sains yang bercorak "khas Islami". Menurut Faisal, Sains yang islami harus meliputi iman, kebaikan dan keadilan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai sosial. Artinya , sains yang berdasarkan keimanan dengan tujuan kemaslahatan manusia.
Islamisasi ilmu pengetahuan, mempunyai tujuan mewujudkan kemajuan peradaban yang islami dan masing-masing juga tidak menghendaki terpuruknya kondisi umat islam ditengah-tengah akselerasi perkembangan kemajuan IPTEK. Dengan usaha gerakan islamisasi ilmu pengetahuan ini diharapkan problem dikotomi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu modern dapat dipadukan dan dapat diberikan secara integral dalam proses pendidikan.
Kemudian gagasan tersebut dijadikan lima landasan objek rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Penguasaan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern.
2. Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam.
3. Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu pengetahuan modern.
4. Mencari sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
5. Memberikan arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan kehendak Ilahiyah. Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna mempercepat islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual.
Sementara Al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psiskologi dari kebudayaan dan peradaban Barat. Oleh karena itu Al-Attas menjelaskan jiwa utama kebudayaan dan peradaban islamisasi ilmu diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan (inter-related characteristics):
1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
2. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
3. Membenarkan aspek temporal untuk yang memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
4. Pembelaan terhadap doktrin humanisme.
5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spritual, atau transedental, atau kehiudpan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama atau tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia .
Oleh karena itu, Islam harus menjadi acuan yang menentukan dalam prinsip utama setiap displin ilmu untuk setiap usaha dan perbuatan manusia. Ada empat poin yang harus diperhatikan, seperti:
1. Prinsip-prinsip utama Islam sebagai intisari peradaban Islam
2. Pencapain sejarah kebudayaan Islam sebagai manifestasi ruang dan waktu dari prinsip-prinsip utama Islam
3. Bagaimaan kebudayaan Islam dibandingkan dan dibedakan dengan kebudayaan lain dari sudut manifestasi dan intisari,
4. Bagaimaan kebudayaan Islam menjadi pilihan yang paling bermamfaat berkaitan dengan masalah-masalah pokok Islam dan non Islam di dunia saat ini.
Faktor lain selaras dengan pandangan di atas adalah masih menduanya sistem pendidikan . Pertama, sistem pendidikan “modern” dan kedua, sistem pendidikan “Islam”. Dualisme pendidikan ini melambangkan kejatuhan umat Islam. Hal ini perlu diatasi, jika tidak sistem dualisme tersebut akan tetap menjadi penghalang setiap usaha rekontruksi peradaban Islam .
C. Kedudukan Ilmu Pengetahuan
Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam penghormatan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuwan serta tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw, berupa kunci ilmu yakni membaca. Tercemin dalam ajakan untuk mengikuti hanya kepada orang yang berakal. Tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu akan menyesatkan serta dengan tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku selama manusia masih hidup (long life education concept). Hal ini menunjukkan bahwa konsep pembelajaran sebagai suatu proses pembentukan dan perbaikan diri secara dinamis dan kontinyu merupakan acuan yang dikehendaki dalam Islam. Dengan system pendidikan seumur hidup, maka akan lahir Good citizen ( warga Negara yang baik) yang memiliki kepribadian utuh.
Realita berbicara, Al-Qur'an sebagai kitab panduan umat manusia memuat ratusan ayat yang mengungkap tentang ilmu,mengajak manusia untuk berpikir dan melakukan penalaran ( mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta memberikan penghormatan orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya. Ini merupakan bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan pentingnya kedudukan ilmu dalam Islam.
Selain itu, Al-Qur'an tidak bertentangan dan tidak akan berseberangan dengan hakikat ilmu pengetahuan. Akal manusia akan selalu didorong oleh Al-Qur'an untuk mendalami ilmu pengetahuan. Dengan demikian , kedudukan ilmu pengetahuan dan agama dalam prespektif Islam bersifat integral, bukan dikotomis.
Dari kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan agama, diharapkan selain manusiia mampu membedakan fakta ilmiah dengan teori ilmiah, juga yang terpenting mampu menemukan bagaimana konsep nilai, teori, atau paradigma itu dalam prespektif Al-Qur'an.

D. Sumber Ilmu Pengetahuan
Berbicara mengenai sumber ilmu penegetahuan, mau tidak mau kita akan bersentuhan dengan apa yang disebut epistemology. Istilah epistimologi ini berasal dari bahasa Yunani: episteme yang berarti Knowledge atau pengetahuan. Logy berarti "Theory”, oleh sebab itu epistimologi diartikan "teori pengetahuan" atau "Filsafat ilmu". Pengkajian mengenai sumber-sumber ilmu pengetahuan merupakan salah satu bagian dari tiga persoalan pokok dalam filsafat ilmu.
Ada empat sumber yang ditunjukkan Al-Qur'an untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara lain:
1. Al-Qur'an dan As-Sunnah, keduanya merupakan sumber pertama ilmu pengetahuan. Al-Qur'an berkali-kali mengingatkan manusia untuk memikirkan ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran darinya, serta mengingatkan manusia untuk menjadikan Rasul sebagai suri tauladan. Tentang Assunnah seorang muslim bukan saja mengambil apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Seorang mukmin tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti putusan Allah dan Rasul-Nya, maka diharuskan mengambil pelajaran dari Sunnah Rasul-Nya. Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa saja yang diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal. Namun demikian, tidak memandang Al-Qur'an sebagai ensiklopedi ilmu pengetahuan, dan juga tidak meyakini kebenaran mencocokan Al-Qur'an dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang berubah-ubah.
2. Alam semesta, al-Qur'an menyuruh manusia memikirkan keajaiban –keajaiban ciptaan Allah, penciptaan bumi dan lautan, langit, tumbuh-tumbuhan serta yang lainnya. Al-Qur'an menunjukkan kepada manusia mengenai alam semesta dengan beragam bentuk dan jenis benda untuk diteliti, yaitu meteri yang mendasari penciptaan, proses penciptaan sendiri, proses perubahan fenomena alam, juga hubungan manusia dengan alam.
3. Manusia adalah sumber ketiga ilmu, "Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan". Ungkapan "dari apa ia diciptakan" mengacu kepada fisiologi dan psikologii manusia sekaligus. Karena itu, didalam Al-Qur'an, disamping ayat-ayat al-Qur'an melukiskan penciptaan manusia secara biologis, juga banyak ayat yang melukiskan watak manusia sebagai individu, seperti tamak, munafik dan prilakunya sebagai anggota masyarakat. Dari studi tentang manusia ini banyak melahirakan sebagai disiplin keilmuan, antara lain: ekonomi, politik, pemerintahan, manajemen, pendidikan, hokum, seni, etika dan lain-lain.
4. Sejarah umat manusia, banyak dari sisi kehidupan merupakan kelanjutan dari produk sejarah. Sejarah dapat diartikan sebagai kejadian, fakta, cerita, suatu kejadian dan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari fakta dan cerita sejarah kejadian manusia dari masa lampau sampai masa sekarang, hingga masa depan. Meskipun al-Qur'an bukan buku sejarah, akan tetapi di dalamna termuat hukum sejarah, hukum Allah tentang sejarah kemanusiaan.
E. Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam
Ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam tidak bertolak belakang secara menyeluruh dengan ilmu pengetahuan Barat. Ada segi-segi tertentu yang merupakan titik persamaan dan perbedaannya. Titik-titik persamaan antara keduanya itu menunjukkan, bahwa keberadaannya diterima secara universal. Misalnya, indera diakui oleh islam sebagai salah satu media mendapatkan pengetahuan. Ihwan al-Shafa menegaskan, bahwa sesungguhnya seluruh pengetahuan diusahakan, sedangkan dasar usahanya itu adalah penginderaan. Sementara itu, objek pemikiran yang ada pada akal bukanlah sesuatu tanpa ada lambing-lambang yang dapat diindera. Namun, dalam keadaan kemampuan manusia untuk mengumpulkan fakta terbatas, disamping pancaindera dapat keliru dalam melakukan pengamatan, maka kebenaran ilmiah pun selalu dapat salah atau keliru. Bersamaan dengan fakta itu fakta atau data pun tidak selamanya menampakkan diri sebagaiman ada sebenarnya.
Demikian pula yang terjadi pada akal manusia. Islam mengakui akal manusia sebagai salah satu sumber atau sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Tetapi sebagaimana indera, akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan, sehingga menumbuhkan bantuan. Jadi, indera dan akal diakui sebagai sumber atau sarana untuk memperoleh pengetahuan, tetapi keduanya tidak bisa dimutlakkan. Keduanya tidak bisa diharapkan mampu memecahkan seluruh persoalan yang dihadapi manusia. Lantaran kondisi keduanya yang serba terbatas itulah akhirnya ilmu dalam Islam dirancang dan dibangun disamping melalui kedua sumber tersebut juga berdasarkan kekuatan spiritual yang bersumber dari Allah melalui wahyu.
1. Bersandar pada kekuatan spiritual
Ilmu pengetahuan dalam Islam menempatkan wahyu (Al-Qur'an dan As-Sunnah) pada posisi dan fungsi yang sanat strategis. Wahyu dapat dan memang semestinya mewarnai ilmu pengetahuan. Wahyu inilah yang menentukan skop kajian ke arah mana sains islam itu harus ditujukan. Pemikir-pemikir islam yang menerima pandangan demikian tentang alam jagat, sebelumnya telah menerima wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Jadi, konsep pemikir-pemikir Islam terhadap wahyu mempunyai akibat-akibat penting terhadap metodologi sains dalam islam. Mereka tidak hanya mengandalkan indera dan akal sebagai sumber sekaligus metode pengetahuan , tetapi mereka berusaha menambah dan mengembangkan pengetahuan dengan metode-metode lainnya yang diperoleh melalui wahyu tersebut.
2. Hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal
Karakter dalam Islam yang kedua adalah didasarkan hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal. Keduanya tidak dipertentangkan, karena terdapat titik temu. Oleh karana itu, ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal. Maka ilmu dalam Islam memiliki sumber yang lengkap apalagi ketika dibandingkan dengan sains Barat.
3. Interdependensi akal dengan intuisi
Dalam tradisi pemikiran islam, ilmu pengetahuan dibangun adakalanya atas kerjasama pendekatan akal dan intuisi. Akal memiliki keterbatasan-keterbatasan penalaran yang kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya pemberian atau bantuan, sedangkan pemberian dari intuisi masih belum tersusun rapi, sehingga dibutuhkan bantuan nalar untuk mensistematiskan pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya pemberian itu. Dengan pengertian lain, akal menumbuhkan intuisi, dan begitu sebaliknya, intuisi menumbuhkan akal. Keduanya saling menumbuhkan bantuan dari pihak lainnya untuk menyempurnakan pengetahuan yang dicapai masing-masing.
4. Memiliki orientasi Teosentris
Bertolak dari suatu pandangan,bahwa ilmu berasal dari Allah dan ini merupakan salah satu perbedaan mendasar anatara ilmu dengan sains, maka implikasinya berbeda sekali dengan sains, ilmu dalam islam memiliki perhatian yang sangat besar kepada Allah. Artinya ilmu tersebut mengembang nilai-nilai ketuhanan, sebagai nilai yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk. Sebaliknya, ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu dalam Islam selalu diorientasikan kepada Allah untuk mencapai kebahagian hakiki.
5. Terikat Nilai
Mengingat ilmu dan Islam dipengaruhi dimensi spiritual, wahyu, intuisi dan memiliki orientasi teosentris, konsekuensinya berikutnya sebagai salah satu ciri ilmu tersebut adalah terikat nilai. Ini sangat membedakan dengan sains Barat, karena semangat tradisi ilmiah Barat senantiasa berusaha menegaskan, bahwa ilmu itu netral atau bebas nilai, tidak boleh terikat nilai tertentu. Bahkan menurut pandangan Barat, salah satu syarat keilmiahan adalah bersifat objektif. Sifat objektif ini berarti menyatakan fakta apa adanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh fakta apapun.



BAB III
KESIMPULAN

Pengislaman Ilmu atau Islamisasi ilmu, Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebuah gagasan yang timbul sejak dasawarsa 1970-an. Kata “islami” mengandung dua makna yang kurang lebih berbeda. Pertama, kata Islami menunjukkan suatu periode sejarah, kedua, menunjukkan suatu aktivitas yang mengandung Nilai-nilai Islam.
islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disipilin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya.
Dalam deskripsi yang lebih jelas, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.”
Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam penghormatan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuwan serta tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw, berupa kunci ilmu yakni membaca.
Ada empat sumber yang ditunjukkan Al-Qur'an untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara lain: Al-Qur'an dan As-Sunnah, Alam semesta, manusia, dan Sejarah umat manusia.
Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, ada lima: Bersandar pada kekuatan spiritual, Hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal, Interdependensi akal dengan intuisi, Memiliki orientasi Teosentris, dan Terikat Nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Wad Daud, Wan Mohd Nor ,1988, Filsafat dan praktek pendidikan Islam, Mizan, Bandung.
Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu. Uin –Malang Press, 2008.
Norcholis Majid, Islam, Kemodern, dan Keindonesiaan, (Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998).
Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta : Gema Insani Press, 1995.
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006.
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993).
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam. Erlangga , Jakarta, 2002.
http://www.hidayatullah.com/opini/pemikiran/9747-tiga-fase-islamisasi-ilmu-pengetahuan-kontemporer.

URGENSI DAN KEGUNAAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

BAB II
PEMBAHASAN

URGENSI DAN KEGUNAAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. Urgensi filsafat pendidikan islam
Pertanyaan yang perlu dikemukakan dalam pembahasan ini adalah untuk apa mempelajari filsafat pendidikan Islam? Jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan jawaban aksiologis biasanya mempertanyakan guna dan fungsi suatu ilmu pengetahuan. Sudah dapat diduga bahwa setiap ilmu sudah pasti memiliki kegunaan, termasuk juga ilmu filsafat pendidikan Islam. Secara umum, Knight menuturkan Empat urgensi mempelajari filsafat pendidikan, yaitu:
1) Membantu para pendidik menjadi paham akan persoalan-persoalan mendasar pendidikan.
2) Memungkinkan para pendidik untuk dapat mengevaluasi secara lebih baik mengenai berbagai tawaran yang merupakan solusi bagi persoalan-persoalan pendidikan.
3) Membekali para pendidik berfikir klarifikatif tentang tujuan-tujuan hidup dan pendidikan.
4) Memberi bimbingan dalam mengembangkan suatu sudut pandang yang konsisten secara internal, dan dalam mengembangkan suatu progam pendidikan yang berhubungan secara realistis dengan konteks dunia global yang lebih luas.
Dengan nada berbeda, Imam Barnadib, yang mengutip pendapat Brubacher, mengatakan bahwa filsafat pendidikan sewajarnya dipelajari oleh mereka yang memperdalam ilmu pendidikan dan keguruan. Alasannya adalah:
1) Berbagai masalah pendidikan selalu timbul dari zaman kezaman, yang menjadi perhatian ahlinya masing-masing. Pendidikan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa dan masyarakat secara rasional., dan tak jarang suatu pemikiran mempengaruhi pemikiran yang lain. Gagasan dan solusi yang berlandaskan filsafat sering timbul dari para pemikir. Oleh karena itu, filsafat pendidikan perlu dipelajari.
2) Orang yang mempelajari filsafat pendidikan akan memiliki pandangan-pandangan yang jangkauannya melampaui hal-hal yang ditemukan secara empiris atau exsperimental oleh ilmu pengetahuan. Dari sini, ia diharapkan memiliki bekal untuk meninjau masalah-masalah pendidikan secara kritis.
3) Dengan berlandaskan pada asas bahwa berfilsafat adalah berfikir logis, runtut, teratur dan kritis, maka berfilsafat pendidikan berarti memiliki kemampuan intelektual dan akademik. Dari sini, mempelajari filsafat pendidikan berarti mengandung optimism dalam membentuk pribadi pendidik yang baik.
Setelah mengetahui betapa penting dan urgennya Filsafat Pendidikan Islam, langkah berikutnya adalah mengetahui fungsi atau kegunaan filsafat pendidikan Islam

B. Kegunaan filsafat pendidikan islam
Kegunaan filsafat secara umum ialah untuk memperoleh pengertian (makna) dan untuk menjelaskan gejala atau peristiwa alam dan sosial. Itu berarti orang yang berfilsafat harus berpikir obyektif atas hal-hal yang obyektif, bukan menghayal.
Dari situlah para ahli dibidang tersebut telah banyak meneliti secara teoritis mengenai kegunaan Filsafat Pendidikan Islam. Umar Muhammad Al-Tomi Al-Saidany misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari Filsafat Pendidikan Islam tersebut sebagai berikut:
1) Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu Negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan. Disamping itu dia dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan dan peningkatan tindakan dan keputusan termasuk rancangan-rancangan pendidikan mereka. Selain itu ia juga berguna untuk memperbaikia peningkatan pelaksanaan pendidikan serta faedah dan cara mereka mengajar yang mencangkup penilaian, pembimbingan dan penyuluhan.
2) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh. Penilaian pendidikan itu dianggap persoalan yang perlu bagi setiap pengajaran yang baik. Dalam pengertian yang terbaru penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah, institusi pendidikan secara umum untuk mendidik angkatan baru dan warga Negara dan segala yang berkaitan dengan filsafat.
3) Filsafat pendidikan akan menolong dalam memberikan pendalaman pemikiran bagi faktor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, dan politik dinegara kita.
Sedangkan kegunaan Filsafat Pendidikan Islam menurut Prof. Mohammad Athiyah Abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha“ yaitu:
1) Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
3) Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4) Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
5) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Al-Syaibany khusus menjelaskan bahwa mempelajari filsafat pandidikan Islam memiliki beberapa kegunaan sebagai berikut:
a) Filsafat pendidikan Islam dapat membantu para perencana dan para pelaksana pendidikan untuk membentuk suatu pemikiran yang sehat tentang pendidikan.
b) Filsafat pendidikan Islam merupakan asas bagi upaya menentukan berbagai kebijakan pendidikan.
c) Filsafat pendidikan dapat dijadikan asas bagi upaya menilai keberhasilan pendidikan.
d) Filsafat pendidikan dapat dijadikan sandaran intelektual bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia praksis pendidikan. Sandaran ini digunakan sebagai bimbingan ditengah-tengah maraknya berbagai aliran atau system pendidikan yang ada.
e) Filsafat pendidikan Islam dapat dijadikan dasar bagi upaya pemberian pemikiran pendidikan dalam hubungannya dengan masalah spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, dan politik.
Berdasar pada kutipan diatas timbul kesan bahwa kegunaan dan fungsi filsafat pendidikan Islam ternyata sangat strategis dia seolah-olah menjadi acuan dalam memecahkan permasalahan dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena yang diselesaikan filsafat pendidikan Islam itu adalah bidang filosofinya yang menjadi akar dari setiap permasalahan kependidikan. Dalam berpedoman pada filsafat pendidikan setiap masalah pendidikan akan dapat dipecahkan secara komprehensif integrated, dan tidak parsial, tambal sulam atau sepotong-sepotong. Melihat demikian besar jasa yang dimainkan oleh filsafat,tidak mengherankan jika Al-Saibany lebih lanjut mengatakan seharusnya filsafat pendidikan, amaliah pendidikan, dan pengajaran mendapat penghargaan dan penghormatan dari pihak-pihak pelajar, para guru, dan orang-orang yang berkiprah dalam bidang pendidikan. Dengan penghargaan dalam arti memanfaatkan jasa filsafat pendidikan sebaik-baiknya, mereka akan memiliki sandaran dan rujukan intelektual yang berguna untuk membela tindakan-tindakannya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Namun demikian, uraian tentang fungsi filsafat pendidikan Islam tersebut member kesan terlalu umum dan abstrak. Fungsi filsafat pendidikan lebih konkrit lagi dijelaskan oleh Ahmad D. Marimba. Menurutnya bahwa filsafat pendidikan dapat menjadi pegangan pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang berkepribadian Muslim. Generasi-generasi baru ini selanjutnya akan mengembangkan usaha-usaha pendidikan dan mungkin mengadakan penyempurnaan atau penyusunan kembali filsafat yang mendasari usaha-usaha pendidikan itu sehingga membawa hasil yang lebih besar. Pendapat yang terakhir ini memberi petunjuk bahwa filsafat pendidikan Islam selain menjadi acuan bagi pendidikan dalam menghasilkan generasi yang Islami, dihasrapkan juga dapat mendukung pengembangan konsep filsafat pendidikan Islam itu sendiri. Dengan demikian pendapat yang terakhir ini Nampak lebih mengorientasikan filsafat pendidikan pada upaya mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini tidak terlalu salah, mengingat bahwa dari seluruh kegiatan dan aspek pendidikan yang ada, pada akhirnya memang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi seseorang boleh saja mengorbankan atau merubah cara, tetapi tidak boleh begitu saja merubah atau mengorbankan tujuan pendidikan.
Selanjutnya Muzayyin Arifin yang pendapatnya banyak dikutip dalam pembahasan bab ini mengatakan, bila dilihat dari fungsinya, maka filsafat pendidikan Islam merupan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh karena itu filsafat itu juga memberikan gambaran tentang sampai dimana proses tersebut dapat direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut dilaksanakan selain itu dia juga mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan kritik-kritik tentang metode-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam itu serta sekaligus memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didaya gunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Dari uarainya ini Muzayyain Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu seharusnya bertugas dalam tiga (3) dimensi yakni:
1) Memberikan landasan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam.
2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan.
3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan.
Dengan memperhatikan uraian tersebut dapat diketahui ternyata filsafat pendidikan Islam berfungsi mengarahkan dan memberi landasan pemikiran yang sistematik, mendalam, logis universal, dan radikal terhadap berbagai masalah yang beroperasi dalam bidang pendidikan dengan menempatkan Al-Quran sebagai dasar acuannya. Dengan demikian, jika dijumpai permasalahanyang terdapat dalam bidang pendidikan, maka cara penyelesaiannya yang ideal dan komprehensif harus dimulai dari tinjauan filosofisnya, karena pemecahan yang ditawarkan filsafat pendidikan ini sifatnya menyeluruh, komprehensif, mendasar dan sistematis, sebagaimana hal itu menjadi ciri khas dari pemikiran filsafat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
 Membantu pembentukan akhlak yang mulia
 Persiapan untuk kehidupan didunia dan diakherat.
 Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran sehingga pelajar tidaka hanya Mengetahui atau mengkaji ilmu bukan sekedar ilmu.
 Menyiapkan pelajar dari segi professional, teknis dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu.
 Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.

Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
 Menolong para perancang pendidikan dan orang–orang yang melaksanakannya untuk membentuk watak yang sehat terhadap suatu sistem pendidikan dalam suatu Negara.
 Menjadi azaz yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh.
 Menolong dalam memberikan pendalaman pemikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, dan politik Negara kita.
 Menolong para perancang pendidikan Menjadi azaz yang terbaik untuk penilaian, Menolong dalam memberikan pendalaman pemikiran
 Memberikan landasan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan Islam
 Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan pendidikan itu.
Pada akhir makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena makalah ini masih jauh dari taraf kesempurnaan, dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga selesainya makalah ini dan semoga si pembaca dapat mengambil hikmah dan mendapatkan apa yang terkandung di dalamnya, dan tujuan kami hanya untuk pembelajaran dan semata-mata hanya utuk mencari keridloan Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Suharto, Toto. 2006, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Nata, Abuddin. 1996. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos.
Said, Umar. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
http://www.google.com, kegunaan filsafat pendidikan islam: 08 desember 2008.

sosiologi pendidikan islam- pendidikan keluarga

B. PEMBAHASAN

1. lembaga pendidikan Keluarga
Dalam Islam keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ’ali, dan nasab. Keluarga (kawula dan warga) dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Inti keluarga adalah ayah, ibu dan anak.
Keluarga bisa diartikan sebagai a group of two or more persons residing together who are related by blood, married, or adoption ( sebuah kelompok untuk dua orang atau lebih yang bertempat tinggal bersama dimana menjadi hubungan darah, perkawinan, atau adopsi).
Menurut Jalaluddin Rahmad, Ed, (1993: 20) dalam perspektif sosiologis, keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah atau keturunan, sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dan anak-anaknya. Termasuk dalam pengertian ini keluarga kandung (biologis)yang hubungannya bersifat permanen, yang oleh Bool (1960) disebut family of procreation.
Al-Qur’an menyebutkan kata keluarga dengan istilah ahl, yang menurut Muhammad Fuad Abd. Al-Baqy (1987: 175-177) yang dikutip oleh A. Fatah Yasin (2008:205) kata keluarga dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 128 kali, dan sesuai dengan konteksnya kata-kata tersebut tidak selamanya menunjukkan arti keluarga, melainkankan punya arti yang bermacam-macam. Pada surat al-Baqarah ayat 126 misalnya, ayat keluarga diartikan sebagai penduduk suatu negeri. Selanjutnya pada surat yang sama pada ayat 109 kata itu berarti menganut suatu ajaran seperti seperti Ahl al-Kitab. Selain itu surat an-Nisa’ ayat 58 mengartikan keluarga sebagai orang yang berhak menerima sesuatu. Selebihnya kata “ahl” dalam al-Qur’an ditujukan pada keluarga dalam arti kumpulan laki-laki dan perempuan yang diikat oleh tali perkawinan dan didalamnya terdapat orang yang menjadi tanggungannya, sperti anak dan mertua. Pada beberapa ayat berikut ini dijelaskan contoh pengertian keluarga tersebut diantaranya, surat Hud ayat 46:
      
“Allah berfirman: "Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu “. (QS. Hud: 46)
Ayat lain juga disebutkan dalam surat Thaha ayat 132:
     
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”.(QS. Thaha : 132)
Unit sosial terkecil yang disebut keluarga menjadi pendukung lahirnya bangsa dan masyarakat, memiliki lima ciri khas yaitu:
1. Adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin,
2. Adanya perkawinan yang mengokohkan hubungan tersebut,
3. Pengakuan terhadap keturunan,
4. Kehidupan ekonomi bersama,
5. Kehidupan berumah tangga.
Sebagai pendidikan anak-anaknya ayah dan ibu mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah SWT di muka bumi (QS. Al-Jumu’ah:10) dan selanjutnya dinafkahkan pada anak istrinya (QS. Al-Baqarah:228,233). Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara dan mengelola keluarga, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena merekalah anak-anak mulai menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan pada masa Rasulullah adalah dirumah-rumah. Rasulullah sendiri menggunakakn rumah Arqam bin Abi Arqam sebagai tempat para sahabat dan kaum muslimin pertama untuk mengajarkan Al-Qur’an. Keluarga sebagai lembaga pendidikan, maka orang tua terutama pihak ibu memiliki peran yang sangat strategis dalam mengembangkan pendidikan anak-anaknya. Karena itu kedua orang tua (ibu dan bapak) harus, membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, yang nantinya akan ditransfer dan diinternalisasikan kepada anak, serta orang tua dituntut untuk menyiapkan waktu yang cukup guna mendampingi pendidikan anaknya.
Orang tua atau ayah dan ibu merupakan memegang peranan penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Ibu merupakan orang yang pertama kali dikenal anak, karena sejak lahir ibunyalah yang selalu ada disampingnya.
Ibu sebagai sumber kasih sayang yang memberikan pendidikan, seorang ibu mempunyai peran utama dalam pembinaan dan pendidikan anak-anaknya di keluarga karena kodrat dan fungsinya lebih mengarah pada tugas tersebut. Oleh karena itu, tidak layak jika pendidikan yang diberikan ibu sama dengan pendidikan yang diberikan ayah. Dalam syair dikatakan”al ummu madrasatun, a’dadta sya’aban thayyiban a’raaq” Artinya: “Ibu adalah (lembaga) sekolah, ia dipersiapkan agar dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat”.
Kartini Kartono (1977) menyebutkan bahwa fungsi wanita dalam keluarga sebagai berikut :
1. sebagai istri dan teman hidup
2. sebagai partner seksual
3. sebagai pengatur rumah tangga
4. sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya,
5. sebagai makhluk sosial yang ingin berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial.
Sikun Pribadi (1981) menyatakan bahwa peranan wanita dalam keluarga adalah:
1. sebagai istri
2. sebagai pengurus rumah tangga
3. sebagai ibu dari anak-anak,
4. sebagai teman hidup dan
5. sebagai makhluk sosial yang ingin mengadakan hubungan sosial yang intim.
Ayah merupakan sumber kekuasaan yang memberikan pendidikan anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan, sebagai penghubung antara keluarga dan masyarakat dengan memberikan pendidikan anaknay komunikasi terhadap sesamanya, memberikan perasaan aman dan perlindungan, sehingga ayah memberikan pendidikan bertanggung jawab dan waspada.
Pengurusan rumah tangga merupakan tanggung jawab ibu sebagai istri. Dalam perkembangan lebih lanjut maka ayah diperlukan sebagai pengelola kerumahtanggaan. Sebab keluarga merupakan lembaga sosial yang mengelola segala keperluan yang menyangkut banyak segi. Oleh karena itu ayah sebagai kepala keluarga juga ikut bertanggung jawab dalam jalannya keluarga sebagai lembaga sosial yang memerankan berbagai fungsi kehidupan manusia. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ayah mempunyai banyak peran (berperan ganda). Agar dapat melaksanakan peran ganda ini maka seorang ayah dituntut untuk bekerja keras, dan berpengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena persoalan-persoalan kehidupan makin lama makin sulit dan kompleks.
Secara umum kewajiban orang tua kepada anak-anaknya adalah sebagai berikut:
1. Mendo’akan anak-anaknya dengan do’a yang baik(QS.Al-Furqon: 74) dan jangan sekali-kali mengutuk anak-anaknya dengan kutukan yang tidak manusiawi.
2. Memelihara anak dari api neraka (QS.At-Tahrim: 6)
3. Menyerukan shalat pada anak-anaknya(QS. Thaha:132)
4. Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’: 128)
5. Mencintai dan menyayangi anak-anaknya (QS.Ali Imron: 140)
6. Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya (QS. Al-taghabun:14)
7. Mencari nafkah yang halal (QS.Al-Baqarah:233)
8. Mendidik anak agar berbakti pada bapak dan ibu (QS. An-Nisa’ :36, al-an’am:151, al-isro’:23) dengan cara mendoakannya yang baik (QS.Al-Isra’:24)
9. Memberi air susu sampai dua tahun (QS.Al-Baqarah:233).
Dasar-dasar pendidikan yang diberikan pada anak didik dari orang tuanya adalah:
1. Dasar pendidikan budi pekerti, memberi pandangan hidup tertentu walaupun masih dalam bentuk yang sederhana kepada anak didik,
2. Dasar pendidikan sosial, melatih anak dalam tatacara bergaul yang baik terhadap lingkungan sekitarn ya,
3. Dasar pendidikan intelek, anak diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur bahasa yang baik, kesenian yang disajikan dalam bentuk permainan,
4. Dasar pembentukan kebiasaan, pembinaan kepribadian yang baik dan wajar, yaitu membiasakan anak untuk hidup yang teratur, bersih, tertib, disiplin, rajin yang dilakukan secara berangsur-angsur tanpa unsur paksaan,
5. Dasar pendidikan kewarganegaraan, memberikan norma nasionalisme dan patriotisme, cinta tanah air dan berperikemanusiaan yang tinggi,
6. Dasar pendidikan agama, melatih dan membiasakan beribadah kepada Allah SWT, sembari meningkatkan aspek-aspek keimanan dan ketakwaan anaknya kepada Allah SWT.
2. Fungsi dan Peran keluarga
Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal multifungsional, yaitu fungsi pengawasan, sosial, pendidikan, keagamaan, perlindungan, dan rekreasi. Menurut Oqburn, fungsi keluarga adalah kasih sayang, ekonomi, pendidikan, perlindungan, rekreasi, status keluarga, dan agama. Sedangkan fungsi keluarga menurut Bierstatt adalah menggantikan keluarga, mengatur, dan mengurusi impuls-impuls seksuil, bersifat membantu, menggerakkan, nilai-nilai kebudayaan, dan menunjukkan status. Fungsi-fungsi keluarga ini membuat interaksi antar anggota keluarga eksis sepanjang waktu. Waktu terus berjalan dengan membawa konsekuensi perkembangan dan kemajuan. Keluarga dan masyarakat tidak lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga perubahan apa yang terjadi di masyarakat, berpengaruh pula di keluarga. Proses industrialisasi, urbanisasi, dan sekulerisasi telah merubah sebagian dari fungsi-fungsi keluarga tersebut. Diantara fungsi-fungsi keluarga yang berubah adalah :
a) Fungsi pendidikan, pada awalnya, keluarga adalah satu-satunya institusi pendidikan. Secara informal, fungsi keluarga tetap penting, tetapi secara formal fungsi pendidikan itu telah diambil oleh sekolah. Proses pendidikan di sekolah menjadi sangat penting, bukan hanya terbatas pada pendidikan intelek, tetapi sudah mengarah kepada pendidikan pribadi anak.
b) Fungsi rekreasi, dulu, keluarga sebagai tempat rekreasi paling menarik tetapi sekarang sudah dialihkan ke tempat lain diluar lingkungan keluarga. Keluarga hanya sebagai tempat berkumpul untuk istirahat selepas aktivitas sehari-hari.
c) Fungsi keagamaan, agama dan segala kegiatannya berpusat dalam keluarga. Sebagai pengendalian nilai-nilai religius, keluarga sudah tidak dapat dipertahankan karena pengaruh sekulerisasi. Segala bentuk ajaran agama telah diambil oleh institusi keagamaan sehingga yang disebut sekolah individual tidak lagi diakui oleh masyarakat. Sebaliknya, masyarakat lebih melihat sekolah sosial sebagai tolak ukurnya. Agama lebih bersifat simbolik universal dengan maraknya kegiatan keagamaan sakrralitas.
d) Fungsi perlindungan, dulu, keluarga menjadi tempat yang nyaman untuk melindungi anggota keluarganya, baik fisik maupun sosial. Sekarang, institusi sosial telah mengambil alih fungsi perlindungan tersebut, seperti tempat perawatan anak cacat tubuh dan mental, yatim piatu, anak nakal, panti jompo, asuransi jiwa, dan sebagainya.
Tetapi ada fungsi-fungsi keluarga yang tidak bisa lapuk oleh erosi industrialisasi, urbanisasi, dan sekulerisasi, yaitu :
a. Fungsi biologis, keluarga sampai sekarang masih dianggap tempat yang paling baik dan aman untuk melahirkan anak. Keluarga adalah institusi untuk lahirnya generasi manusia. Anak yang lahir diluar keluarga, seperti anak lahir tanpa bapak, anak lahir dengan jalan zina, anak lahir dari tabung (bayi tabung) dipandang tidak sah oleh masyarakat. Tetapi disisi lain, fungsi biologis mengalami pergeseran dilihat dari sisi jumlahnya. Kecenderungan keluarga modern hanya menghendaki anak sedikit. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Perubahan tempat tinggal keluarga dari desa ke kota
2. Makin sedikitnya fasilitas perumahan
3. Banyak anak dianggap sebagai penghambat untuk kerusakan keluarga.
4. Banyak anak dianggap sebagai menghambat untuk mencapai sukses material keluarga.
5. Meningkatnya taraf pendidikan wanita.
6. Berubahnya dorongan dari agama agar keluarga mempunyai anak banyak.
7. Makin banyak para ibu yang bekerja di luar rumah.
8. Makin luasnya pengetahuan dan penggunaan alat-alat kontrasepsi.
b. Fungsi sosialisasi. Keluarga masih berfungsi sebagai institusi yang dominan dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalm keluarga, anak mempelajari tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadian.
c. Fungsi afeksi, dalam keluarga, terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Afeksi muncul sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Hubungan cinta kasih dalam keluarga juga mengakibatkan lahirnya hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, dan persamaan pandangan tentang nilai-nilai kehidupan.
Disamping keluarga mempunyai fungsi tersebut diatas, keluarga juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal-hal yang dianggap penting bahwa keluarga mempuntyai peranan kunci adalah:
a. Keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi face to face secara tetap. Dalam kelompok yang demikian, perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan sosial lebih mudah terjadi.
b. Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena anak merupakan buah cinta kasih hubungan suami isteri. Motivasi yang kuat ini melahiirkan hubungan emosional antara orang tua dengan anak. Hasil penelitian membuktikan bahwa hubungan emosional lebih berarti dan efektif dari pada hubungan intelektual dalam proses pendidikan.
c. Karena hubungan keluarga bersifat relatif tetap, maka orang tua memainkan sangat penting terhadap proses pendidikan anak.
Jika suatu keluarga ingin berfungsi secara efektif dan efesien, maka anggota keluarga harus melaksanakan sejumlah besar pekerjaan sehari-hari tanpa ragu-ragu dan penuh rasa tanggung jawab. Cara yang sangat sederhana untuk meyakinkan pekerjaan anggota keluarga haruus membagi sebagian pekerjaan besar tersebut menjadi serangkaian peran yang ditetapkan dan mensosialisasikan peran tersebut kepada seluruh anggota keluarga guna menerima dan mengisi peran yang diberikan kepada mereka. Anggota akan melaksanakan perannya masing-masing berdasarkan status yang diberikan atau yang dimiliki.
Dilihat dari segi hubungan internal keluarga, ada keluarga otoriter, keluarga demokratis, dan keluarga liberal. Status keluarga sebagai keluarga otoriter , maka orang tua yang akan menentukan perkembangan anak. Sifat pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangan, ragu-ragu dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Status keluarga demokrasi, biasanya sikap anak lebih bisa menyuaikan diri, fleksibel, dapat menguasai diri, mau menghargai pekerjaan orang lain, menerima kritik dengan terbuka, emosi lebih stabil, serta mempunyai rasa tanggung jawab. Stasus keluarga liberal, anak-anak lebih bebas bertindak dan berbuat, sifat keluarga liberal adalah agresif, tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, sulit menyesuaikan diri, emosi kurang stabil, serta mempunyai sifat selalu curiga.
3. Nilai Pendidikan dalam Keluarga
Sesuai dengan perubahan fungsi keluarga di dalam masyarakat modern, fungsi yang tetap melekat dalam keluarga diantaranya adalah fungsi sosialisasi yang menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian anak. Kepribadian anak sangat penting dalam kehidupan sosial, sehingga setiap keluarga mempunyai perhatian khusus. Dalam hal ini, keluarga yang dapat membentuk kepribadian lebih efektif adalah terletak pada nuclear family, bukan extended family, yang disebut dengan nuclear family adalah keluarga yang terdiri dari suami isteri dan anak-anaknya, sedangkan yang disebut dengan extended family adalah keluarga yang terdiri dari suami isteri, anak, nenek, paman, bibi, kemenakan, dan saudara-saudara lainnya.
Pendidikan keluarga akan berjalan baik dan mencapai tujuan, jika keluarga itu memenuhi tiga syarat:
1. Apabila keluarga itu merupakan yang anggota-anggotanya berinteraksi face to face secara tetap.
2. Apabila orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik aanak disebabkan hasil cinta kasih hubungan suami isteri. Anak merupakan perluasan biologis dan sosial orang tua. Motivasi yang kuat ini melahirkan hubungan emosional antara orang tua dengan anak.
3. Jika hubungan sosial dalam keluarga itu bersifat relatif tetap, sehingga orang tua dapat melakukan proses pendidikan yang relatif lama.
Disamping bentuk keluarga seperti tersebut di atas, dapat mempengaruhi proses pendidikan dalam keluarga , ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh, yaitu faktor ekonomi. Secara sederhana, kelas ekonomi keluarga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: ekonomi keluarga kelas menengah ke atas, dan ekonomi keluarga kelas bawah. Dalam berbagai penelitian, menunjukkan bahwa cara mendidik anak dalam keluarga kelas menengah atas adalah:
1. Tidak memberikan hukuman pada anak yang salah, tetapi memberikan pengertian dan solusi.
2. Memotivasi anak untuk berprestasi.
3. Memberikan latihan untuk memikul dan menerima tanggung jawab.
4. Lebih memberi kebebasan pada anak.
5. Banyak memberi pujian pada anak.
Sedangkan kelas ekonomi keluarga kelas bawah mempunyai pola-pola tersendiri dalam mendidik anak, antar lain:
1. Menuntut kepatuhan anak yang membabi buta.
2. Kurang mendorong sikap kooperatif.
3. Suka memberi hukuman
4. Mengajak dan memberi batasan hak-hak anak dari kelas bawah dan kelas menengah.
Pola-pola pendidikan dalam keluarga, baik keluarga kelas ekonomi menengah maupun keluarga kelas ekonomi bawah sangat dipengaruhi oleh kebutuhan keluarga. Alasan-alasan yang dijadikan perbedaan itu adalah:
Keluarga kelas sosial bawah umumnya banyak anak, penghasilan kecil, hidup dalam rumah yang penuh sesak. Dalam kondisi yang demikian, anak dituntut untuk patuh, tidak banyak ribut, tidak banyak tuntutan dan inisiatif agar tidak banyak menimbulkan resiko bagi keluarga. Sebaliknya, keluarga kecil keadaan ekonominya lebih baik, sehingga memberikan kekuasaan lebih besar kepada anak untuk berinisiatif.
Orang tua dari keluarga kelas bawah biasanya dalam pekerjaan berkedudukan sebagai bawahan. Sebagai bawahan, biasanya mereka terbiasa bersikap patuh kepada atasannya sikap ini secara tidak sadar terpencar dalam proses pendidikan anak dalam keluarga. Model pendidikan anak dalam keluarga seperti ini, tidak saja mempengaruhi perilaku sosial anak, melainkan juga mempengaruhi perkembangan intelektualnya.
4. Proses Pendidikan dalam Keluarga
Sistem pendidikan islam dalam keluarga melalui proses dan tahapan , dimana proses dan tahapan itu disebut dengan periodesasi. Menurut konsep pendidikan Islam, pendidikan dalam keluarga dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode pra-konsepsi, periode pre-natal, dan periode post-natal.
1. Periode pendidikan pra-konsepsi adalah upaya persiapan pendidikan yang dilakukan oleh seseorang semenjak ia memulai dan atau mencari jodoh sampai pada saat terjadinya pembuahan dalam rahim seorang ibu. Dalam konteks ini hhal-hal yang perlu disiapkan sebagai upaya persiapan pendidikan antara lain. Pertama, menentukan pilihan jodoh yang dianjurkan sesuai dengan ajaran Islam, dan bukan karena nafsu belaka. Dalam memilih jodoh seseorang dianjurkan untuk mencari pasangan yang memungkinkan untuk dapat hidup berumah tangga secara baik dan benar menurut ajaran Islam( QS.Al-Baqarah : 221), dan dalam hadis Nabi juga disebutkan yang artinya : “ Wanita itu dinikahi karena 4 hal, yaitu karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan karena agamanya,kamu pasti akan hidup bahagia”. Kedua, setelah seseorang menemukan jodohnya, maka dalam kehidupan rumah tangga tahap berikutnya adalah mencarir rizqi yang halal, makan makanan yang halal pula ( QS. An-Nahl :114). Rizqi dan makanan yang dikonsumsi oleh keluarga memiliki dampak yang cukup besar terhadap keturunannya di kemudian hari, baik fisik maupun mentalnya, hal ini sesuai dengan hadis nabi yang artinya : “ sesungguhnya Allah mengharamkan surga bagi seseorang yang tumbuh dari makanan yang haram”(HR. Abu Naim). Ketiga, sebagai upaya persiapan pendidikan juga, dan agar anak keturunannya nanti lahir, tumbuh, dan berkembang menjadi baik, maka pada saaat mengadakan hubungan suami-istri hendaknya membaca do’a mengharap kepada Allah sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh nabi, yang artinya : “ Dengan menyebut asma Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari ( gangguan) syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang akan kau berikan kepada kami”.
2. Periode pendidikan pra-natal adalah upaya persiapan pendidikan yang dilakukan oleh kedua orang tua pada saat anak masih dalam kandunga sang ibu. Upaya persiapan yang bisa dilakukan pada periode ini antara lain:
a. Bagi ibu yang mengandung hendaknya menjaga kestabilan kondisi fisik dan mental, karena anak dalam rahim akan tumbuh sehat atau tidak, tergantung kondisi fisik dan mental ibu yang mengandungnya, sedangkan kondisi ibu yang sedang mengandung sangat di pengaruhhi oleh bapak (suaminya), yakni ikut menjaga agar kondisi jiwa dan fisiknya stabil, sehat dan tenang pikirannya.
b. Orang tua selalu mendo’akan agar kondisi anak dalam kandungan kelak kalau diberi oleh Allah kesempurnaan, sehat, dan menjadi anak yang shaleh-shalehah (QS. Ali Imran : 35, Al-A’raf : 189).
c. Orang tua hendaknya berusaha untuk rajin beribadah, memanjatkan do’a, banyak membaca Al-Qur’an, berbuat baik dengan sesama, dan selalu mensyukuri atas nikmat yang diberikan oleh Allah.
d. Mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya dengan cara yang baik dan halal, menjaga kedamaian kehidupan keluarga, sehingga sang istri/ibu menjadi tenang, dan suami selalu bersiap siaga untuk menyambut kelahirannya anaknya.
3. Periode pendidikan post-natal adalah pendidikan yang dilakukan atau dimulai semenjak anak lahir didunia ini sampai tumbuh berkembang menjadi dewasa. Proses pendidikan semenjak lahir hendaknya dilakukan sebagaimana teori-teori mendidik anak berdasarkan tingkat perkembangan dan tahapan-tahapan anak mulai dari umur 0-2 tahun sampai seterusnya. Rasulullah telah memberikan agar orang tua mengaqiqahkan pada saat anak telah lahir di hari ketujuh dan memberi nama yang baik,menghitankan dan mengawinkan (mencarikan jodoh) untuk anaknya. Maka pendidikan post-natal dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan anak sebagai berikut:
1) Anak berusia 0-3 tahun. Dalam usia ini, lebih ditekankan dalam pendidikan jasmani, seperti belajar jalan, duduk dan sebagainya, dan menciptakan situasi religius dalam diri anak, seperti memberi adzan pada telinga kanan dan iqamat pada telinga kiri, disembelihkan hewan aqiqah, memberi nama yang baik, mencukur rambut, dan memberi suasana religius.
2) Anak usia 3-7 tahun. Pada usia 3 tahun anak sudah dididik karena anak sudah mulai mengenal bahasa dan mengenal wibawa, sudah mulai mempunyai keinginan dan kehendak. Pendidikan yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah mengamalkan ajaran islam yang bersifat praktis, seperti membaca do’a makan, tidur, membaca basmalah untuk memulai kegiatan, dan membaca hamdalah selesai kegiatan, memberi kasih sayang dan sebagainya.
3) Anak usia 7-13 tahun. Pada usia ini, anak sudah memasuki sekolah dan anak mulai tumbuh daya intelektualnya. Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua adalah: melatih anak untuk bisa membedakan yang baik dan buruk, memberikan peringatan yang keras ketika anak melakukan kesalahan, memisahkan tempat tidur antara anak dengan orang tua, anatara laki-laki dengan perempuan. Dalam mendidik anak ketika memasuki sekolah, orang tua mempunyai tugas untuk :
a. Memasukkan sekolah yang tidak bertentangan dengan agama atau keyakinan.
b. Tetap selalu membimbing dan mengawasi amaliyah agama.
c. Selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak.
d. Memonitoring pergaulan diluar rumah dan mengarahkan agar bergaul dengan teman yang baik.
e. Menyediakan alat atau failitas yang diperlukan.
5. Tujuan Pendidikan Agama Dalam Keluarga
Orang tua mendidik anaknya karena kodratnya sebagai orang tua adalah mendidik anak-anaknya, selain itu karena cinta. Tujuan lain ialah agar manusia itu tidak menjadi musuh orang tuanya yang akan mencelakakan orang tuanya.
Anak juga dapat menjadi musuh orang tuanya jika tidak dididik dengan benar, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah musuhmu orang yang bila kamu bunuh, kamu akan menjadi pemenang, dan kalau kamu terbunuh , kamu akan masuk surga, tetapi musuhmu terkadang adalah anak yang lahir dari tulang rusukmu sendiri. Kemudian musuhmu yang paling berat adalah harta bendamu sendiri.”
Dalam surat Al-Taghabun ayat:14-15 Allah SWT berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuhmu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi mereka, maka sesungguhnya Allah maha pengampun. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan cobaan bagimu, dan disisi Allah pahala yang besar”.
Menurut Hery Noer Ali (1999: 212-217) yang dikutip oleh A. Fatah Yasin (2008: 204) tanggung jawab keluarga dibagi menjadi tiga bagian:
1. Keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anak seperti perasaan senang, aman, sayang dan perlindungan,
2. Mengetahui dasar-dasar pendidikan, terutama berkenaan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak serta tujuan dan isi pendidikan yang diberikan kepadanya,
3. Bekerja sama dengan pusat-pusat pendidikan diluar lingkungan keluarga.
Semua tanggung jawab tersebut kata Sayahminan Zaini (1982: 118), bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan kemanusiaan anak, memenuhi keinginan Islam terhadap anak, mengerahkan anak agar mempunyai arti bagi orang tuanya.
Dalam keluarga, anak merupakan orang pertama yang masuk sebagai peserta didik. Oleh karena itu dalam berinteraksi orang tua harus mampu menampilkan pola perilaku yang positif, karena dapat menjaadi stimulus anak, terutama dalam etika berbicara(memberi pesan), bertingkah laku dan lain sebagainya. Karena anak akan men-sugesti, me-imitasi dan mendemonstrasikan apa yang biasa ia lihat, lebih-lebih yang lihat itu datang menyadari dalam lingkungan keluarga sendiri. Maka alterntifnya anak selalu diajak untuk menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar, yang dimulai dari kehidupan interaksional dalam keluarga.

6. Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak
Keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama mempunyai peranan penting dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak secara mendasar. Menurut Hasan Langgulung ada tujuh bidang-bidang pendidikan yang dapat dikembangkan oleh orang tua dalam rangka pendidikan keluarga, yaitu: pendidikan jasmani, kesehatan akal( intelektual), agama, psikologi dan emosi, akhlak, dan sosial anak.
1. Pendidikan jasmani dan kesehatan
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan fungsi fisiknya, serta untuk menciptakan kesehatannya. Fungsi dari jasmani adalah memperoleh pengetahuan, konsep-konsep, ketrampilan, kebiasaan, dan sikap yang harus dimiliki oleh anak. Peranan keluarga dalam menjaga kesehatan anak-anaknya dapat dilaksanakan sebelum lahir (pre-natal), yaitu pemeliharaan terhadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang baik dan sehat selama mengandung. Apabila bayi telah lahir, maka tanggung jawab keluarga terhadap kesehatan anak dan ibunya telah dipersiapkan lebih matang.
2. Pendidikan akal (intelektual)
Walaupun pendidikan akal telah dikelola oleh institusi khusus, tetapi peranan keluarga masih tetap penting, terutama orang tua mempunyai tanggung jawab sebelum anak masuk sekolah. Tugas sekolah dalam pendidikan intelektual adalah untuk menolong anak-anaknya, menemukan, membuka, dan menumbuhkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, minat dan kemampuan-kemampuan akalnya. Tugas yang lain adalah memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan intelektual yang sehat dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal tersebut. Cara yang dapat mendidik intelektual anak adalah:
1. Mempersiapkan rumah tangga dengan berbagai alat perangsang intelektual dan budaya. Diantara alat pernagsang intelektual adalah alat permainan, gambar, buku, majalah dan sumber lain yang menyebabkan anak-anak gemar menelaah kandungan buku dan majalah yang tersedia.
2. Membiasakan anak-anak berpikir logis dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan cara memberi contoh yang baik dan praktikal dalam pemikiran.
3. Membiasakan mereka mengaitkan akibat-akibat dengan sebab-sebab, pendahuluan, dan kesimpulan.
4. Membiasakan berpikir obyektif, kejernihan dalam mengambil keputusan, terus terang dalam perkataan dan jangan membelok dalam pemikiran.
5. Menyiapkan suasana yang sesuai dan menggalakkan belajar.
3. Pendidikan psikologikal dan emosi
Melalui pendidikan psikologikal dan emosi, keluarga dapat mendidik anak-anak dan anggota keluarga yang lain untuk menciptakan pertumbuhan emosi yang sehat, menciptakan kematangan emosi yang sesuai dengan akidah-akidah umum, menciptakan penyesuaian psikologikan yang sehat dengan dirinya, dan orang-orang yang ada disekelilingnya menumbuhkan emosi kemanusian yang mulia, seperti cinta kepada orang lain, mengasihi orang lemah dan teraniaya, menyayangi fakir miskin dan menjalin kerukunan dengan orang lain. Untuk mencapai tujuan ini orang tua dapat menempuh cara:
1. Mengetahui segala keperluan psikologis dan sosialnya, serta mengetahui cara-cara memuaskannya untuk mencapai penyesuaian psikologi bagi anak-anak.
2. Mengetahui cara-cara memuaskan atau tidak memuaskan gejala-gejala dan sifat-sifat dalam kepuasan tingkah laku anak.
3. Memberi kesempatan bergerak dan cara-cara bergaul yang akan menolong memuaskan kebutuhan tersebut.
4. Jangan menggunakan cara-cara ancaman, kekejaman dan siksaan badan.
5. Jangan melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan rasa diabaikan, kekurangan dan kelemahan.
6. Jangan melukai perasaan anak dengan kritikan tajam, ejekan, cemoohan, menganggap ringan pendapat dan membandingkan anak dengan keluarga dan kerabat yang lain.
4. Pendidikan agama dan spiritual
Pendidikan agama tumbuh dan berkembang dari keluarga, sehingga perran orang tua sangat penting. Pendidikan agama dan spiritual berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri pada diri anak yang disertai kegiatan upacara keagamaan. Begitu juga memberi bekal anak-anak dengan pengetahuan agama dengan kebudayaan Islam yang sesuai dengan umur anak dalam bidang akidah, ibadah muamalat dan sejarah, disertai dengan cara-cara pengalaman keagamaan.
5. Pendidikan akhlak
Akhlak adalah tata cara berperilaku sesuai dengan norma dan aturan, baik yang bersumber dari adat, negara, dan agama. Akhlak agama adalah perilaku dengan ukuran nilai-nilai dan aturan agama, yang dianggap baik adalah menurut agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama. Keluarga adalah sumber nilai dan norma agama yang pertama kali ditemukan oleh anak. Keluarga berkewajiban mengajarkan akhlak kepada anak mereka, seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kasih sayang, penolong dasebagainya.

6. Pendidikan sosial anak
Pendidikan sosial anak melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi, dan politik dalam rangka meningkatkan akidah iman dan taqwa kepada Allah swt. Islam selalu mengajarkan untuk selalu berbuat adil kepada sesama, memberi kasih sayang dan selalu mementingkan dan mendahulukan orang lain. Islam juga mengajarkan tolong menolong setia kawan, cinta tanah air, sopan, tidak sombong, rendah diri dan sebagainya.


C. Analisis Makalah
Ketika berbicara tentang keluarga maka tergambar dalam benak kita komponen inti dalam keluarga itu sendiri diantaranya ayah, ibu dan anak. Tetapi keluarga secara umum ialah siapapun yang memiliki hubungan darah seperti nenek, kakek, paman, bibi, keponakan dan lain sebagainya. Anggota dalam sebuah keluarga itu juga memiliki tanggung jawab masing-masing, seperti peranan ayah dalam keluarga, ayah menjadi pemimpin yang mempunyai kewajiban mencari nafkah untuk keluarganya, peranan ibu sebagai pemimpin di rumah suaminya dan sebagai pendidik bagi anak-anaknya, dan seorang anak yang mempunyai kewajiban untuk mengabdikan diri pada kedua orang tuanya. Hal ini ditegaskan juga dalam sebuah hadits nabi “Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya. Seorang wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia bertanggung jawab untuk merawat anak suaminya”.(HR. Bukhari)
Pendidikan dalam sebuah keluarga sangat penting peranannya untuk perkembangan anak, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan paling utama karena di dalam keluarga seorang anak dapat mempelajari tentang dasar-dasar suatu pendidikan, sebut saja pendidikan agama, pendidikan sosial, pendidikan akhlak dan lain sebagainya. Didalam keluarga seorang anak diperkenalkan dengan Allah, orang tua mengajarkan anak untuk shalat, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Sedangkan pendidikan sosial, anak-anak dididik untuk dapat berinteraksi dengan orang disekitarnya, saling tolong menolong, bergotong royong dan lain sebagainya. Sedangkan untuk pendidikan akhlak seorang anak diajarkan bagaimana menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda juga bagaimana bersikap santun kepada orang tua.
Seorang anak terlahir dalam sebuah keluarga dengan keadaan yang masih sangat suci, orang tuanyalah yang berperan penting untuk mengarahkan anak tersebut akan menjadi apa nantinya. Jika orang tuanya berhasil menanamkan dasar pendidikan keagamaan dengan baik maka anak tersebut dapat tumbuh menjadi pribadi yang baik, akan tetapi jika orang tua mengabaikan pendidikan dasar anak maka tidak akan jelas arah perkembangan kodrati anak tersebut. Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Fitrah Allah yang Dia ciptakan manusia diatasnya”(QS. Ar-Ruum: 30) dan dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadits Nabi SAW: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah(suci). Hanya saja kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi....”(HR. Bukhari dan Muslim).
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa Mendidik satu orang laki-laki sama dengan mendidik satu keluarga, mendidik satu orang perempuan sama dengan mendidik satu negara, ungkapan yang lain menjelaskan “Ibu adalah (lembaga) sekolah, ia dipersiapkan agar dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat” ungkapan ini dimaksudkan bahwa perempuan atau seorang ibu dalam sebuah keluarga itu mempunyai peran yang sangat penting terhadap tumbuh kembang pendidikan anak. Dalam sebuah hadits dijelaskan “Barang siapa merawat dua anak putri sampai dewasa, maka pada hari kiamat maka ia akan datang bersamaku seperti ini(Rasulullah menunjukkan dua jarinya dan merekatkannya)”(HR. Muslim). Dalam hadits lain dijelaskan, “Barang siapa merawat tiga anak putri, mendidiknya, menikahkannya, dan berlaku baik kepadanya, maka ia akan masuk surga”(HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad). Ada satu syair menjelaskan”Jika kepala rumah tangga menabuh gendang maka anggota keluarga akan menjadi penari”, hal ini menjelaskan bahwa seorang anak itu akan meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, maka dari itu hendaknya bagi orang tua untuk membekali diri mereka dengan ilmu-ilmu pendidikan yang baik. Ada syair lagi yang mengatakan “Seorang anak akan tumbuh diatas kebiasaan yang diajarkan oleh ayahnya”.
Dalam sebuah sabda Rasulullah SAW dijelaskan:“Anas mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:Anak itu pada hari ke tujuh dari kelahirannya disembelihkan akikahnya, serta diberi namanya dan disingkirkan dari segala kotoran-kotoran. Jika ia telah berumur 6 tahun ia dididik beradab susila, jika ia telah berumur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya dan jika telah berumur 13 tahun dipukul agar mau sembahyang(diharuskan). Bila ia telah berumur 16 tahun boleh dikawinkan, setelah itu ayah berjabatan tangan dengannya dan mengatakan: Saya telah mendidik, mengajar, dan mengawinkan kamu, saya mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah-fitnahan di dunia dan siksaan akhirat”. Dan dalam hadits yang lain dijelaskan Dalam salah satu sabda Rasulullah SAW mengatakan: “Didiklah anak-anakmu pada tujuh tahun pertama dengan cara bermain-main dan bergurau, kemudian pada tujuh tahun kedua dengan disiplin dan pada tujuh tahun ketiga dengan cara diskusi(dialog dan tukar pikiran), lalu baru lepaskan dia untuk mandiri”.
Dari hadits diatas maka dapat kita lihat beberapa tahap periodeisasi pendidikan dalam sebuah keluarga yaitu tujuh tahun pertama, tujuh tahun kedua dan tujuh tahun ketiga. Pada tujuh tahun pertama usia anak antara 0-7, pendidikan yang dapat diberikan pada anak usia ini adalah dengan bermain-main dan bergurau, lalu tujuh tahun kedua pada usia anak 8-15 anak diajarkan untuk disiplin, mengerti tanggung jawabnya dn semua kewajiban-kewajibannya sebagai anak. Dan pada tujuh tahun ketiga antara 16-23 anak sudah kita ajarkan pendidikan dengan cara bertukar pikiran, karena orang tua tidak bisa selalu mendikte anak, pada usia ini anak-anak sudah masuk pada masa puber dimana dia mulai mencari jati dirinya, siapakan dia dan akan menjadi apa kelak, maka dari itu saat usia anak di fase kedua ini orang tua sebaiknya menjadikan anak sebagai teman untuk bertukar pikiran.
Jadi tujuan diadakannya pendidikan dalam keluarga diantaranya adalah:
1. Agar anak-anak memiliki pondasi pendidikan yang kokoh, karena pendidikan yang diajarkan dalam keluarga adalah pendidikan yang mendasar, selain itu anak usia 0-7 memiliki daya ingat yang sangat bagus sehingga apa yang diajarkan dapat menjadi pondasi kehidupannya.
2. Membiasakan anak agar melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat baik untuk dirinya ataupun lingkungannya.
3. Dapat menjadi motivasi orang tua untuk mempelajari banyak pengetahuan agar dapat mengajarkan pada anak-anaknya hal-hal yang baik.
4. Membiasakan anak untuk melakukan apa yang disyariatkan agama, melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang.

D. KESIMPULAN
Keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya. Sedangkan inti dari keluarga itu adalah ayah, ibu dan anak.
fungsi keluarga adalah kasih sayang, ekonomi, pendidikan, perlindungan, rekreasi, status keluarga, dan agama. Jika suatu keluarga ingin berfungsi secara efektif dan efesien, maka anggota keluarga harus melaksanakan sejumlah besar pekerjaan sehari-hari tanpa ragu-ragu dan penuh rasa tanggung jawab. Cara yang sangat sederhana untuk meyakinkan pekerjaan anggota keluarga haruus membagi sebagian pekerjaan besar tersebut menjadi serangkaian peran yang ditetapkan dan mensosialisasikan peran tersebut kepada seluruh anggota keluarga guna menerima dan mengisi peran yang diberikan kepada mereka. Anggota akan melaksanakan perannya masing-masing berdasarkan status yang diberikan atau yang dimiliki. fungsi yang tetap melekat dalam keluarga diantaranya adalah fungsi sosialisasi yang menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian anak. Kepribadian anak sangat penting dalam kehidupan sosial, sehingga setiap keluarga mempunyai perhatian khusus.
Sistem pendidikan islam dalam keluarga melalui proses dan tahapan , dimana proses dan tahapan itu disebut dengan periodesasi. Menurut konsep pendidikan Islam, pendidikan dalam keluarga dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode pra-konsepsi, periode pre-natal, dan periode post-natal. Orang tua mendidik anaknya karena kodratnya sebagai orang tua adalah mendidik anak-anaknya, selain itu karena cinta. Tujuan lain ialah agar manusia itu tidak menjadi musuh orang tuanya yang akan mencelakakan orang tuanya.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama mempunyai peranan penting dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak secara mendasar. Ada tujuh bidang-bidang pendidikan yang dapat dikembangkan oleh orang tua dalam rangka pendidikan keluarga, yaitu: pendidikan jasmani, kesehatan akal( intelektual), agama, psikologi dan emosi, akhlak, dan sosial anak.


DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media.
Moh. Padil, Sosiologi Pendidikan,( Malang: UIN-Malang Press, 2007).
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press).
Tafsir, Ahmad, 2005, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1984, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: IAIN Jakarta.
Abu Ahmadi,Sosiologi Pendidikan, (Surabaya:PT. Bina Ilmu 1982)
artaf.wordpress.com/2007/02/06/mengoptimalkan-peran-keluarga/
www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=2

Proposal Skripsi

A.Cover i
B.Judul ii
C.Daftar isi 1
D.Latar Belakang 2
E.Rumusan Masalah 5
F.Tujuan Penelitian 6
G.Manfaat Penelitian 6
H.Batasan Masalah 7
I.Penelitian terdahulu 8
J.Hipotesis 9
K.Kajian teori 9
L.Metode penelitian 22
M.Sistematika pembahasan 27
N.Daftar Pustaka 28
O.Out Line 30