Rabu, 29 Desember 2010

feature:Hasan Tiro di Mata Keluarganya, Ketika Sang Adek Meusyen Keu Cut Bang


Hasan Tiro di Mata Keluarganya, Ketika Sang Adek Meusyen Keu Cut Bang
Oleh: zamahsar
Di belokan jalan gampong kecil itu, kira-kira 100 meter sebelum rumah yang kami tuju, terdapat sebuah rumah kosong yang di depannya terburai gundukan karung pasir. Sebelum damai, tempat itu dijadikan kubu pertahanan pasukan TNI, menghadapi serangan yang tak pernah datang. Rumah itu kini tidak berpenghuni lagi, dan penduduk sekitar jarang mendekatinya.
Sekira sepuluh meter sebelum sampai rumah yang dituju, kami, rombongan Harian Aceh harus melewati sebuah jembatan gantung, disebut jembatan gantung Mali. Panjang jembatan itu sekitar 20 meter dan tingginya 10 meter. Di bawahnya seruas sungai yang airnya bening mengalir antara bebatuan.
Sebuah rumah panggung (rumoh Aceh) tampak. Rumah tua berbahan kayu tersebut, salah satu bangunan bersejarah di gampong lembah itu, sebuah kampung kecil yang disebut Tanjong Bungong, Mali Cot, Kecamatan Sakti, Pidie. Rumah tua itu tampak mencekam dan sepi. Tak ada hingar-bingar suara kendaraan, hanya kicauan burung di antara dedaunan melinjau dan kelapa. Bahkan, kampong di lembah hijau dataran tepi gunung itu tidak tampak sedang merayakan Idul fitri sebagaimana kampong lain di tepi jalan raya.
Ketika Harian Aceh menyapa di tangga rumah Aceh itu, tidak ada jawaban, rumah itu tak berpenghuni. Namun, setelah diperhatikan, terdengarlah suara hiruk-pikuk di belakang rumah. Lalu rombongan Harian Aceh pun ke belakang rumah itu, mencari tahu apa yang terjadi.
Setiba di belakang rumah yang terletak di pinggir sungai Krueng Tiro itu, tampak puluhan lelaki tua dan muda, sedang membersihkan kebun yang dipenuhi semak belukar. Di tepi kebun itu ada dua buah balai (balee) pengajian yang sudah lapuk dimakan usia, dan lama tidak terhiraukan. Sarang laba-laba dan lumut menghiasi dinding papannya.
Salah seorang lelaki, menyambut rombongan Harian Aceh dengan senyum bersahabat seraya menyapa akrab, ‘ada yang bisa dibantu?’ Lalu,  rombongan Harian Aceh pun memperkenalkan diri. Ternyata, lelaki yang menyambut ramah tadi adalah tokoh masyarakat setempat, namanya Murtadha, anak kandung Tgk Nyak Hj Aisyah Binti Muhammad, adik kandung Hasan Tiro yang terkenal itu, pemilik rumah yang rombongan Harian Aceh tuju.
Rombongan Harian Aceh memberitahukan maksud bertandang, ingin bertemu adik kandung Wali Negara Aceh DR Tgk Muhammad Hasan Bin Muhammad Di Tiro, tokoh yang memproklamirkan Aceh 1976 di Gunung Halimun Tiro, Pidie, yang konon tanggal 11 nanti akan sawue gampong. Begitu mendengar maksud dan tujuan rombongan Harian Aceh, sambutan ramah tadi segera lebih ramah, bak menerima saudara kandung yang pulang dari kampong jauh.
Cut Bang Murtadha, panggilan akrab orang kampong itu kepada keponakan Hasan Tiro tersebut, segera memperkenalkan ibunda tercintanya.
Siti Aisyah, kini berusia 80 tahun. Ia adik kandung seayah dengan Hasan Tiro. Siti Aisyah, adalah satu-satunya suadara Hasan Tiro yang masih tinggal. Siti Aisyah satu-satunya pewaris yang menghuni rumah berkumpulnya keluarga besar Tgk Muhammad. Kata Murthada, rumah bersejarah tempat tinggal Siti Aisyah itu dibangun setelah rumah tua, yang kini masih tampak sisa di depan rumah itu dibakar masa DI/TII sekitar tahun 1953.
Rumah yang sekarang dihuni oleh Siti Ainsyah itu pernah disinggah Tgk Hasan di saat pengubah sejarah Aceh zaman modern itu pulang kampong pada tahun 1970-an lalu. Kini rumah khas Aceh yang tergolong besar itu merupakan tempat Umi Aisyah berteduh bersama tiga anaknya, yaitu Murtadha, 50, Nurhelmi, 45, dan sejumlah cucunya. Suami Nurhelmi bernama Sarong kini bermukim di Swedia dan menurut kabar dia tidak bisa ikut pulang karena dalam keadaan sakit.
Siti Aisyah bercerita panjang lebar tentang kerinduan terhadap abang kandungnya yang sudah lama sekali tidak pernah terlihat raut wajahnya.
Lon Meuchen that keunuek meuruempok teungku abang (saya rindu sekali ingin berjumpa dengan teungku abang—panggilannya untuk Hasan Tiro),” ujar Siti Aisyah yang kini masih mengajar agama untuk penduduk kampong kecil itu.
Lon diungo dari urueng lingka gobnyan kageuwoe u gampoeng, tapi peukeuh ek hana geuwoe bak kamoe. Neu peusan siat bak Tuengku, lon meuchen that,” ungkap perempuan yang kini pendengarannya terganggu namun matanya masih terang, bisa membaca Al Quran dengan jelas.
Siti Aisyah bilang, semua saudaranya kini tiada lagi, sudah berpulang menghadap Sang Pencipta. Yang tinggal cuma ia dan Hasan Tiro, yang disebut Wali Nanggroe Aceh, dan kini bermukim di Swedia. Siti Aisyah adalah saudara seayah dengan Teungkuk Hasan. Saudara Hasan Tiro yang lain adalah Tgk Zainal Abidin Muhammad (Alm), Tgk Nyak Asiah Rayek Muhammad (Alm). 
Di balik kerinduannya yang amat dalam selama puluhan tahun, ternyata Siti Ansyah menyimpan secercah keraguan tentang kepulangan abangnya, Hasan Tiro. Bahkan dia balik bertanya, “Pue kueh jadeh teungku abang woe? (apakah jadi teungku abang pulang?” tanya Siti Aisyah, seraya ditambah anaknya Murtadha, “Saya ingin abuwa benar-benar pulang.”
Siti Aisyah melanjutkan, begitu ia mendengar abangnya (Hasan Tiro) akan pulang, dia ingin sekali melaksanakan upacara ritual di kuburan orang tuanya yang berada di belakang rumah bersejarah itu.
lon teumuek rhah ulee teungku abang bak jerurat ureueng chik kamoe,” tutur perempuan yang meski sudah usia kepala delapan tetapi fisiknya masih kuat, bahkan dia sendiri yang menyajikan minuman kepada rombongan Harian Aceh.
Saat ditanyakan apakah sudah ada pemberitahuan tentang kepulangan wali, menurut dia, sejauh ini belum ada. Mungkin sengaja belum diberitahukan, karena belum ada kepastian pulang. “Tapi saya sudah mendengar dari cerita orang,” jelasnya.
Dulu, lanjut Ainsyah, dia sering berkomunikasi dengan Hasan Tiro lewat telepon. Ketika tiba hari raya pun sering menerima ucapan selamat hari raya langsung dari Teungku Hasan, tetapi selama setahun ini belum ada.
Menurut Murtadha, anak lelaki satu-satunya Siti Aisyah ini, ibunya sering kali menanyakan kabar ayah cek (sebutannya kepada Wali Nanggroe Aceh). Siti Aisyah selalu berdoa agar bisa berjumpa dengan abangnya.
Kepada kami selalu bertanya-tanya, apakah ayah cek masih hidup. Ibu saya ingin melihat wajah abangnya,” kata Murtadah mengulangi kata ibunya.(zamahsari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar